Makna, Rukun, dan Konsekuensi Laa ilaaha illallaah

Alhamdulillaahi Rabbil'aalamiin. Allaahumma Shalli 'ala Muhammad wa 'ala aalihi wa shahbihi wasallim.

Kita semua sudah akrab dan sering mengucapkan kalimat syahadat “Laa ilaaha illallaah”, bahkan tidak sah keislaman seseorang yang tidak mengucapkan kalimat tauhid tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu'anhum]
           
Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah, ”Apakah seorang muslim cukup hanya mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallaah sebatas di lisannya saja ?”, ”Apakah penafsiran kita tentang Laa ilaaha illallaah sudah benar ?”, ”Apakah kita telah melaksanakan konsekuensi Laa ilaaha illallaah dengan sebenarnya ?”.
                       
Karena sangat pentingnya masalah ini, maka pada kesempatan ini, kami akan membahas tentang makna, rukun, dan konsekuensi kalimat syahadat “Laa ilaaha illallaah” yang setiap muslim wajib mengetahui, memahami, meyakini, dan mengamalkannya.

Makna Laa ilaaha illallaah

Makna Laa ilaaha illallaah yang benar adalah, ”Laa ma'buuda bihaqqin illallaah”, yaitu ”Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah”.
           
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna Laa ilaaha illallaah, dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Di antara kesalahan tersebut adalah:

[1]. "Laa ilaaha illallah" artinya: "Tidak ada Tuhan (Sesembahan) selain Allah".

Makna ini masih rancu, karena jika demikian berarti setiap yang dituhankan (disembah), baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah. Tentu saja, ini makna yang sangat batil.

[2]. "Laa ilaaha illallah" artinya: "Tidak ada pencipta selain Allah".

Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup, karena kaum musyrikin jahiliah pun meyakini hal tersebut.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
'Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.' [Luqman : 25].
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :
'Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’'. [Az-Zumar : 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla.
Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan: 'Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah'. Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ucapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir.”

[3]. "Laa ilaaha illallah" artinya: "Tidak ada hakim (penguasa) selain Allah".

Pengertian ini pun tidak cukup karena apabila mengesakan Allah hanya dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Penguasa saja, namun masih berdoa kepada selain-Nya atau menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk makna yang benar.

Rukun Laa ilaaha illallaah

Rukun Laa ilaaha illallaah ada dua yaitu:
1. An-Nafyu, yaitu mengingkari (menafikan) segala jenis peribadatan kepada selain Allah
2. Al-Itsbaat, yaitu menetapkan segala jenis ibadah hanya kepada Allah saja.
           
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur'an, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat ..." [Al-Baqarah: 256]
Firman Allah, "siapa yang ingkar kepada thaghut" itu adalah makna dari "Laa ilaha" rukun yang pertama (An-Nafyu). Sedangkan firman Allah, "dan beriman kepada Allah" adalah makna dari "illallah" rukun yang kedua (Al-Itsbaat).          

Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Ibrahim alaihis salam:
"Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku ...". [Az-Zukhruf: 26-27]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Sesungguhnya aku berlepas diri" ini adalah makna An-Nafyu (pengingkaran) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, "Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku", adalah makna Al-Itsbaat (penetapan) pada rukun kedua.

Konsekuensi Laa ilaaha illallaah

Konsekuensi Laa ilaaha illallaah yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan (disembah) sebagai keharusan dari rukun yang pertama (An-Nafyu) dan beribadah hanya kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari rukun yang kedua (Al-Itsbaat).
           
Banyak orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka masih saja beribadah kepada selain Allah (di samping beribadah kepada Allah), seperti beribadah kepada dukun, jin, kuburan (orang mati), pepohonan, bebatuan, dan yang lainnya. Mereka menolak para da'i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya kepada Allah semata.
           
Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan besar di atas. Semoga kita benar-benar mengetahui, memahami, meyakini, dan mengamalkan makna, rukun, dan konsekuensi Laa ilaaha illallaah. Sehingga kita hanya beribadah kepada Allah semata dan menjauhi segala bentuk kesyirikan.
           
Sebagai penutup, kami nukilkan ucapan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, ”Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk mendakwahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah di mana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah.”.

Semoga bermanfaat.

Walhamdulillaahi Rabbil'aalamiin.


Rujukan:
- Kitab Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus Hasan Bashori, Lc, Penerbit Darul Haq
- Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i
- Tauhid, Prioritas Pertama dan Utama, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Penerbit Darul Haq

Buletin Al-Istiqomah, Edisi Ke-4 Volume II Th. 1432 H / 2011 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar